Senin, 12 Mei 2025

Peran Yang Tidak Semua Orang Bisa Melaluinya dengan Baik



Dulu, ia selalu merasa pernikahan bukanlah sesuatu yang mendesak. Baginya, hidup bisa tetap utuh tanpa harus berstatus istri. Ia menikmati kebebasan, pencapaian, dan kesendirian yang ia anggap sebagai bentuk kemandirian. Namun seiring waktu, desakan dari keluarga, lingkungan, dan usia membuatnya goyah. Ia pun menikah, bukan sepenuhnya karena siap, tetapi karena lelah menjadi bahan tanya dan sorotan.

Kini, ia telah menikah. Tapi jauh di dalam dirinya, ada rasa yang belum selesai. Ia sering terdiam, membandingkan dirinya yang dulu—penuh semangat, punya waktu untuk diri sendiri, dan bisa bebas menentukan arah hidup—dengan dirinya yang sekarang, yang merasa lebih sering berkompromi daripada didengarkan. Hidupnya kini seperti berjalan sesuai harapan orang lain, bukan hatinya sendiri.

Ada kalanya ia menyalahkan keadaan: “Andai aku bisa lebih berani menolak dulu,” pikirnya. Tapi di sisi lain, ia juga sadar bahwa semua ini adalah takdir, jalan hidup yang telah tertulis untuknya. Ia mulai belajar menerima, meski belum sepenuhnya ikhlas. Di tengah konflik batin yang ia rasakan, ia terus mencoba menata hati, mencari makna dalam pilihan yang sudah diambil.

Ia tahu, proses ini tidak mudah. Ia masih belajar mencintai peran barunya, masih mencari dirinya di antara tuntutan yang membingungkan. Tapi ia tidak berhenti. Ia berjalan pelan, dengan luka yang tak selalu terlihat, namun juga dengan kekuatan yang perlahan tumbuh—karena ia tahu, menerima takdir bukan berarti menyerah, tapi belajar menemukan damai dalam kenyataan.

0 comments:

Posting Komentar