Dulu aku mengira bahwa hidupku hanyalah milikku sendiri. Segala rasa, segala cerita, segala luka dan bahagia yang pernah ada, cukup aku simpan sendiri. Aku percaya bahwa tidak ada satu pun orang yang benar-benar perlu tahu tentang apa yang aku alami. Aku pikir, menyimpannya rapat-rapat adalah cara paling aman agar aku tetap utuh. Tapi rupanya, hidup tak semudah itu.
Semakin aku tumbuh, semakin aku sadar bahwa hidup ini adalah ruang interaksi. Bukan hanya tentang diriku, tapi juga tentang bagaimana aku terhubung dengan orang lain. Aku mulai menyadari bahwa tidak semua hal bisa aku tanggung sendiri. Ada kalanya aku perlu bicara, perlu menjelaskan sesuatu agar orang lain mengerti siapa aku, bagaimana aku, dan mengapa aku bersikap seperti ini.
Namun di situlah letak kebingunganku. Mana yang harus aku simpan sendiri, dan mana yang harus aku ceritakan? Aku merasa setiap bagian dari diriku adalah sesuatu yang pribadi, sesuatu yang tidak layak diketahui orang lain. Bukan karena aku malu, tapi karena aku merasa itu bukan hak mereka untuk tahu. Tapi di sisi lain, aku juga mulai menyadari bahwa jika aku terlalu tertutup, orang akan salah paham. Mereka akan menilai tanpa tahu konteks, akan menyimpulkan tanpa pernah benar-benar memahami.
Kadang aku iri melihat orang lain yang begitu mudah bercerita. Mereka bisa terbuka, tertawa saat bercerita tentang masa lalu, atau menangis tanpa merasa lemah. Sementara aku, bahkan untuk sekadar bilang “aku tidak baik-baik saja”, butuh waktu berhari-hari atau bahkan lebih lama. Bukan karena aku ingin terlihat kuat, tapi karena aku bingung — apakah ini sesuatu yang pantas untuk dibagikan?
Aku masih belajar, bahwa keterbukaan bukan berarti membuka semua hal. Bahwa berbagi tidak harus mengorbankan seluruh privasiku. Ada batas, dan batas itu hanya aku yang bisa menentukan. Tidak semua harus diceritakan, tapi ada hal-hal yang memang perlu dibagikan agar orang lain mengerti. Agar mereka tidak salah menilai. Agar mereka tahu bahwa aku juga manusia, yang kadang jatuh, kadang lemah, kadang butuh dipahami.
Aku belajar bahwa menyimpan semuanya sendiri bukan selalu bentuk kekuatan, kadang itu bentuk dari ketakutan. Takut dinilai, takut tidak dimengerti, takut dianggap lemah. Tapi aku juga belajar bahwa menjadi terbuka pada orang yang tepat bisa menjadi bentuk kekuatan yang baru — keberanian untuk menerima diri sendiri, dan memberi orang lain kesempatan untuk mengenalku dengan lebih baik.
Hari ini aku masih terus mencari keseimbangan itu. Antara menjaga privasi dan memberi ruang untuk orang lain mengenalku. Mungkin aku belum sepenuhnya paham, tapi aku ingin mencoba. Karena aku tahu, menjadi manusia juga berarti belajar untuk dibuka dan membuka — dengan hati-hati, dengan penuh pertimbangan, dan dengan keberanian.






0 comments:
Posting Komentar